Jumat, 02 Desember 2011

HIV-AIDS : Butuh Perubahan Perilaku


Tanggal 1 Desember, setiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Namun Epidemi penyakit HIV/AIDS terus melaju bagai banjir bandang yang tak terbendung. Berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan Indonesia, sudah 26.400 orang penderita AIDS dan 66.600 orang terinfeksi / positif HIV. Dari angka itu lebih dari 70 persen  adalah generasi muda usia produktif yang berumur antara 20-39 tahun.  Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pengidap HIV bukan hanya kelompok risiko tinggi saja, tetapi juga dari kalangan keluarga dan masyarakat biasa, termasuk ibu-ibu rumah tangga. Fakta yang mencengangkan ini diungkap oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta bahwa kalangan tenaga nonprofesional/karyawan menempati urutan tertinggi pengidap HIV/AIDS di DKI Jakarta. Selain karyawan, posisi tertinggi kedua pengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga disusul oleh kaum wiraswasta. Ketiga kelompok ini  bisa dikatakan minim risiko oleh karena memiliki edukasi cukup, termasuk informasi seputar HIV/AIDS dan risikonya, kenyataannya tidak demikian. Kadang, pendidikan tidak berjalan beriringan dengan perilakunya. Banyak orang mengetahui risiko HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya, tapi menganggap diri tidak mungkin akan terperosok ke dalamnya. Mereka membodohi diri sendiri. Mereka berpikir hal itu tidak akan terjadi kepada dirinya. Dari data orang dengan HIV AIDS (Odha) yang mengetahui dirinya terinveksi HIV hanya sekitar 20 persen. Dengan kata lain terdapat delapan dari 10 orang tidak mengetahui bahwa dirinya sudah terinveksi HIV dan berisiko menularkan kepada orang lain. Hal ini juga turut andil dalam peningkatan kasus HIV di Indonesia.
Berbeda dengan data lima tahun silam, penderita HIV / AIDS kebanyakan dikarenakan oleh penggunaan jarum suntik bergantian oleh pengguna narkoba, saat ini perilaku heteroseksual atau seks bebas menjadi penyebab dominan dalam penyebaran HIV / AIDS di Indonesia. Pada tahun 2006, kecenderungan transmisi HIV / AIDS di Indonesia didominasi oleh jarum suntik mencapai 54,42 persen, sementara seks bebas hanya 38,5 persen. Kondisi tersebut berbalik 180 derajat pada lima tahun kemudian dengan persentase jarum suntik menurun jadi 16,3 persen, sementara seks bebas meningkat 76,3 persen. Artinya, mayoritas penularan HIV/AIDS di Indonesia saat ini dilakukan melalui hubungan seks. Penderita dapat terinfeksi HIV dari orang-orang yang telah terinfeksi. Darah, cairan vagina, air mani, serta air susu orang yang terinfeksi memiliki virus HIV dalam jumlah yang cukup untuk dapat menginfeksi orang lain. Kebanyakan orang terinfeksi oleh karena ; berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi, berbagi jarum suntik dengan orang yang terinfeksi, terlahir dari ibu yang terinfeksi atau minum air susu ibu yang terinfeksi, memperoleh transfusi dari darah yang terinfeksi dan penyebab yang tidak diketahui.   Tidak pernah ada bukti bahwa HIV dapat ditularkan melalui air mata atau air liur, namun orang mungkin dapat terinfeksi melalui seks oral, atau pada kasus-kasus yang sangat jarang, melalui ciuman dalam, khususnya bila orang tersebut memiliki luka terbuka di dalam mulut atau mengalami gusi berdarah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulan masalah HIV dan AIDS.
Akan tetapi epidemi HIV dan AIDS terus akan berlanjut seiring dengan maraknya seks bebas dan pemakaian narkoba suntik.  Mungkin perlu adanya perubahan perilaku walaupun sedikit saja apabila tidak dapat merubah secara radikal drastis. Perlu diingatkan kembali bahwa virus HIV itu berada di dalam cairan darah, cairan vagina, air mani, serta air susu orang yang terinfeksi. Sehingga ada usaha atau perilaku untuk menghindari kontak dengan cairan tubuh tersebut, apalagi cairan tersebut berasal dari orang yang tidak diketahui status serologisnya (reaktif-HIV) dengan jelas. Dan satu hal yang menjebak bahwa mereka yang telah mengidap HIV tidak menunjukkan gejala sakit atau tampak sehat-sehat bahkan hasil tes HIV mereka belum menunjukkan HIV-positif. Gejala sakit akan nampak 4-10 tahun kemudian setelah penderita masuk pada status AIDS.  
Berikut ini adalah tips merubah perilaku agar terhindar dari kontak dengan cairan tubuh yang patut diduga mengandung virus HIV.
1. Cairan Darah atau Produk Darah Lainnya.
-         Transfusi darah sudah merupakan terapi cairan yang tidak dapat dihindari bahkan dapat menyelamatkan jiwa bila dilakukan dengan benar. Darah Donor yang diolah oleh Unit Transfusi Darah sudah disaring bebas dari HIV dan bibit penyakit lainnya yang dapat ditularkan melalui cairan darah. Oleh karena jangan sekali-kali menggunakan darah donor tanpa melalui Unit Transfusi Darah.
-         Hindari kontak tubuh dengan cairan darah tanpa menggunakan alat pelindung diri. Oleh karena dikuatirkan kulit kita tidak utuh (lecet atau luka) sehingga cairan darah tersebut dapat masuk langsung ke tubuh kita.
-         Jangan menggunakan alat-alat yang diduga sudah kontak dengan cairan darah secara bergantian tanpa disterilkan terlebih dahulu. Sedapat mungkin gunakan alat secara pribadi atau disposable sekali pakai. Alat-alat tersebut misalnya ; jarum suntik, jarum tato, pisau cukur, gunting kuku, pencet jerawat dan alat-alat lainnya seperti alat pemuas seks.
2. Cairan Sperma atau Cairan lainnya dari alat Kelamin Pria.
-         Jangan membuang atau menyemprotkan cairan sperma Anda di sembarang tempat atau berganti-ganti pasangan seks.
-         Yakinkan pula pasangan Anda Jangan melakukan hubungna sex bebas berganti-ganti pasangan.
-         Jangan menumpahkan cairan sperma Anda di mulut (oral seks) atau di dubur (anal seks) pasangan Anda baik homo atau hetero.  Oleh karena mulut dan dubur mudah lecet saat berhubungan seks lagipula cairan sperma yang ada di dubur tidak mudah tumpah keluar (dibersihkan) dibandingkan yang ada di vagina.
-         Jika Anda tidak dapat menghindari perilaku seksual seperti di atas, sebaiknya berubahlah sedikit saja dengan memakai kondom yang baik dengan benar ketika berhubungan seks.
3. Cairan Vagina atau Cairan lainnya dari Liang Senggama
-         Hindari penis Anda kontak dengan berbagai merek cairan vagina dengan kata lain berganti-ganti pasangan seksual.
-         Jangan melepaskan dahaga haus anda dengan cairan vagina dengan kata lain hubungan seksual oral–vagina baik pasangan hetero maupun ganda putri (lesbian)..
-         Bila Anda tidak dapat meninggalkan kegemaran tersebut, maka berlindunglah dengan jaket karet atau kondom.
4.    Air Susu Ibu.
-         Bagi pengidap HIV sebaiknya jangan menyusukan bayinya.
-         Bagi bayi-bayi raksasa (kaum adam) penggemar susu segar sebaiknya jangan berganti-ganti kandang untuk memerah susu.
-         Perahlah susu segar yang ada dikandang sendiri agar Anda aman
Demikianlah sumbangsih tulisan ini menyambut Hari AIDS Sedunia semoga dapat sedikit merubah perilaku Anda.









Sabtu, 12 November 2011

SCHISTOSOMIASIS - Khas Sulawesi Tengah


Hari ini, Sabtu 12 November 2011, Hari Kesehatan Nasional ke-47 tingkat Provinsi Sulawesi Tengah diperingati dengan tema “Sulawesi Tengah Cinta sehat, Mari Kita Cegah Schistosomiasis Dengan Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat”. Peringatan ini dipusatkan di Kompleks Laboratorium Scsistosomiasis Kec. Lore Utara Kab. Poso. Tema yang diangkat dan tempat peringatan ada kata ‘Schistosomiasis’. Apa dan bagaimana Schistosomiasis mungkin bagi komunitas yang berkecimpung di lingkungan kesehatan tidak asing lagi, namun bagaimana dengan kaum awam yang mungkin termasuk yang berisiko terserang penyakit ini. Schistosomiasis adalah penyakit khas Sulawesi Tengah. Melalui media ini saya mencoba menulis secara gamblang tentang Schistosomiasis, semoga tulisan ini dapat menyegarkan kita kembali akan penyakit ini.
          schisto, demikianlah namanya disebut sehari-hari di kalangan Medis atau di Lingkungan Kesehatan umumnya, cukup keren mirip nama orang. Akan tetapi siapa yang menyangka ini adalah panggilan untuk seekor cacing kecil yaitu Schistosoma.  Cacing ini di Indonesia hanya bisa ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu sekitar Danau Lindu termasuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah dengan nama Schistosoma japonicum. Meski kecil, tetapi kalua si schisto ini sudah berada di dalam tubuh manusia, si penderita akan mengalami berbagai variasi gejala seperti ; keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian. Penularannya tidak seperti proses cacingan yang sering kita dengar dan alami yang masuk ke tubuh manusia  dari mulut, tetapi langsung menembus pori-pori kulit mengikuti aliran darah menuju ke jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati kemudian ke kandung kemih dan usus untuk menetap dan berkembang biak di sana.  

Schistosomiasis dikenal juga sebagai bilharziasis atau demam siput atau demam keong ; adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing pipih (cacing pita) dari beberapa spesies dari genus Schistosoma yang memiliki habitat pada pembuluh darah di sekitar usus atau kandung kemih.  Infeksi shistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, disentri , penurunan berat badan , penurunan nafsu makan, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat menimbulkan perdarahan saluran kemih, perdarahan usus atau pembengkakan hati yang umumnya berakhir dengan kematian. Meskipun memiliki tingkat kematian rendah, Schistosomiasis merupakan penyakit kronis yang dapat merusak organ-organ dalam tubuh dan pada anak-anak dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan sehingga penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyebaran Schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan penyakit ini menginfeksi 200 juta sampai 300 juta orang di 79 negara dan sebanyak 600 juta orang mempunyai resiko terinfeksi. Di Indonesia schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan di daerah dataran tinggi Napu dan Lindu, sekitar Danau Lindu dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.
 
Siklus hidup dari semua spesies schistosoma yang menginfeksi manusia sangat mirip. Schistosoma menginfeksi orang masuk melalui kulit. Schistosoma yang masuk dalam bentuk serkaria (cercaria) yang mempunyai ekor. Parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing. Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah menuju ke jantung dan paru-paru untuk selanjutnya ke hati. Di dalam hati orang yang terinfeksi, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang terinfeksi tersebut. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah vena usus kecil atau pembuluh darah vena kandung kemih yang merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur (perkembangbiakan siklus seksual).  
Telur parasit cacing Schistosoma yang dilepaskan ke lingkungan alam bebas  dari kotoran atau kemih orang yang terinfeksi, akan menetas setelah kontak dengan air segar dan melepaskan cacing dalam bentuk mirasidium (miracidium) yang berenang bebas di air. Miracidium menginfeksi siput air tawar jenis Oncomelania sebagai hospes perantara dengan menembus kaki siput. Mirasidium yang tidak mendapatkan hospes perantara akan mati dalam waktu 48-72 jam. Hospes perantara Schistosoma japonicum adalah keong jenis Oncomelania hupensis lindoensis. Habitat primer siput Oncomelania hupensis lindoensis adalah areal di antara hutan lindung Lore-Lindu dan dataran rendah serta areal di tengah hutan yang berawa yang selalu digenangi air.  Setelah masuk ke siput, mirasidium tersebut berubah menjadi sporocyst primer (ibu). Kemudian sporocyst primer akan mulai berkembang biak (siklus aseksual) memproduksi sporocysts sekunder (putri), yang bermigrasi ke hepatopancreas siput (hati dan pankreas). Setelah di hepatopancreas itu, sporocyst sekunder mulai berkembang biak lagi, kali ini menghasilkan ribuan parasit baru, yang dikenal sebagai serkaria, merupakan larva yang mampu menginfeksi mamalia termasuk manusia. Serkaria dikeluarkan setiap hari dari tuan rumah siput dalam irama sirkadian (siklus waktu tertentu), tergantung pada suhu lingkungan dan cahaya. Serkaria muda yang sangat mobil, berenang ke permukaan air dan menyelam untuk mempertahankan posisi mereka di dalam air. Kegiatan Cercarial terutama dirangsang oleh turbulensi air, oleh bayangan dan bahan kimia yang ditemukan pada kulit manusia. Selanjutnya serkaria akan menginfeksi manusia atau hewan vertebra lainnya sebagai hospes definitif.
Spesies Schistosoma yang dapat menginfeksi manusia adalah ; Schistosoma haematobium yang menyebabkan Schistosomiasis saluran kemih dan Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi, Schistosoma mansoni, Schistosoma intercalatum yang menyebabkan Schistosomiasis usus dan hati.
Ketika Schistosoma (serkaria) pertama kali memasuki kulit, akan timbul gatal-gatal dengan sedikit bengkak dan warna kemerahan yang biasa dikenal sebagai gatal perenang. Sekitar 4 - 8 minggu kemudian ketika cacing pita dewasa mulai bertelur, akan muncul gejala demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak nyaman yang samar (malaise), mual, dan nyeri perut. Pembuluh getah bening bisa membesar untuk sementara waktu, kemudian kembali normal. Kumpukan gejala-gejala ini biasa disebut demam katayama. Gejala-gejala lain selanjutnya bergantung pada organ-organ yang terkena. Jika pembuluh darah pada usus terinfeksi secara kronis gejala dapat berupa perut tidak nyaman, nyeri, dan pendarahan sedikit-sedikit (terlihat pada kotoran), yang bisa mengakibatkan anemia (kekurangan sel darah merah). Jika hati terkena dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada pembuluh darah hati sehingga terjadi  pembesaran hati dan limpa atau muntah darah dalam jumlah banyak.  Jika kandung kemih terinfeksi secara kronis akan terasa sangat nyeri, sering berkemih, kemih berdarah dan dapat meningkatkan resiko terkena kanker kandung kemih. Jika otak atau tulang belakang terinfeksi secara kronis (jarang terjadi) akan timbul kejang-kejang atau kelemahan otot.
Diagnosis Schistosomiasis dapat dimulai dengan menanyakan tempat tinggal atau riwayat bepergian dari daerah-daerah endemis Schistosomiasis. Harus ditanyakan  pula apakah mereka telah berenang atau menyeberangi air alam. Untuk memastikan diagnosa dengan memeriksa telur-telur pada sampel kotoran atau urin penderita. Biasanya, diperlukan beberapa sampel kotoran dan urin. Pemeriksaan imunologis darah bisa dilakukan untuk memastikan apakah seseorang telah terinfeksi dengan Schistosoma, tetapi tes tersebut tidak dapat mengindikasikan seberapa berat infeksi atau seberapa lama orang tersebut telah terinfeksi. Kadangkala, dibutuhkan pengambilan sampel jaringan (biopsi) usus atau jaringan kantung kemih untuk diteliti telur-telur di bawah mikroskop. Ultrasonografi (USG) bisa digunakan untuk mengukur seberapa berat Schistosomiasis pada saluran kemih atau hati.
Pengobatan spesifik Shistosomiasis masih menggunakan Praziquantel oral selama satu hari terbagi dalam 2 atau 3 dosis. Disamping itu dapat diberikan pengobatan penunjang lainnya sesuai dengan berat-ringannya penyakit dan komplikasi yang menyertainya. Schistosomiasis paling baik dicegah dengan menghindari berenang, mandi, atau menyeberang di air alam di daerah yang diketahui mengandung Schistosoma. Pengendalian Schistosomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai hospes perantara dengan molusida dan melalui agroengineering. Program pengendalian dilanjutkan dengan program pengendalian yang lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat infeksi. Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka infeksi, akan tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih terus berlangsung dan infeksi Schistosoma masih mengancam penduduk pada dua wilayah tersebut. Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar (hewan yang terinfeksi misalnya sapi, babi dan lain-lain) dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva infektif (serkaria) sehingga infeksi berlangsung secara terus-menerus. Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia. Schistosoma japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia. Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis.

Selasa, 08 November 2011

DBD (Demam Berdarah Dengue) - Diagnosis Laboratorium


PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue, terutama menyerang anak-anak dengan gejala demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian.
Penyebab penyakit ini ialah virus dengue yang sampai sekarang telah dikenal ada 4 tipe (tipe 1,2,3 dan 4), termasuk dalam group B Arthropod Borne Viruses (Arbovirosis).
Orang yang terinfeksi virus dengue, dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti (antibodi) yang spesifik sesuai dengan tipe virus dengue yang masuk. Gejala atau tanda yang timbul ditentukan oleh reaksi antara antibodi yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalam virus dengue yang baru masuk. Orang yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita sakit demam dengue atau demam yang ringan dengan gejala dan tanda yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali (asymtomatic). Penderita demam dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa pengobatan. Akan tetapi apabila orang sebelumnya sudah pernah terinfeksi virus dengue, kemudian terinfeksi lagi virus dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit demam berdarah dengue (infeksi sekunder).
Patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit ialah ; Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma darah, terjadi hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik
Diagnosis penyakit DBD (Modifikasi# Kriteria WHO)
1.      Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
2.      Tanda-tanda perdarahan
3.      Pembesaran hati
4.      Trombositopenia (150.000# atau kurang)
5.      Hemokonsentrasi ; hematokrit meningkat sebanyak 20% atau lebih dibanding nilai selama perawatan.
Penerapan kriteria ini 87% diagnosis tepat setelah dikonfirmasi dengan tes imunologi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DBD
            Pemeriksaan laboratorium DBD yang digunakan untuk menunjang diagnosis sesuai kriteria adalah hitung trombosit dan nilai hematokrit dilanjutkan dengan tes konfirmasi. Namun demikian dengan melihat gejala dan tanda serta patofisiologi DBD pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah :
1.      Yang non spesifik :
-          Utama  
       * penetapan nilai hematokrit  ; meningkat  ≥ 20%
       * hitung trombosit  ; menurun ≤ 150.000 / µl
   -  Lain-lain
                       * hitung lekosit ; biasanya lekositosis sedang atau lekopenia dengan  
   limfositosis atau monositosis relatif
      * albumin serum ; biasanya menurun
      * natrium serum ; biasanya menurun
      * transaminase (GOT, GPT) ; biasanya meningkat
      * urea ; biasanya meningkat
2.      Yang spesifik :
-          Tes imunologi
-          Isolasi virus,deteksi virus atau komponen virus
Tes Laboratorium DBD Non Spesifik
a. Penetapan Nilai Hematokrit
            Merupakan salah satu pemeriksaan hematologi untuk mengetahui volume eritrosit dalam 100 ml darah, yang dinyatakan dalam %. Nilai ini biasanya dipakai untuk mengetahui ada tidaknya anemia dan digunakan untuk menghitung nilai eritrosit rata-rata. Pada kasus DBD volume plasma berkurang oleh karena terjadi eksudasi plasma akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga volume eritrosit relatif meningkat.  Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus DBD merupakan indikator yang peka terhadap akan terjadinya renjatan. Oleh karena itu perlu dilakukan berulang secara periodik terutama di antara hari ketiga dan hari ke tujuh sakit. Penetapan nilai hematokrit dapat dilakukan dengan cara makro dan cara mikro. Cara makro menggunakan tabung Wintrobe dan saat ini sudah jarang dipakai. Cara mikro menggunakan pipet kapiler yang panjangnya 75 mm dan diameter dalamnya 1 mm. Pipet ini ada 2 jenis yaitu yang dilapisi antikoagulan untuk darah kapiler dan yang tidak dilapisi dengan antikoagulan digunakan untuk darah vena.  Untuk memanpatkan eritrosit dilakukan sentrifus selama 3-5 menit dengan kecepatan 4000 rpm/menit.
Nilai normal atau nilai rujukan hematokrit :
- Anak-anak                          : 33-38 vol%
- Dewasa laki                        : 40-48 vol%
- Dewasa perempuan         : 37-43 vol%
Kesalahan yang mungkin terjadi
1.      Persiapan penderita misalnya puasa. Dua jam setelah makan volume plasma meningkat dan setelah gerak badan volume plasma berkurang.
2.      Posisi pasien saat pengambilan sampel ; berdiri volume plasma berkurang, berbaring volume plasma bertambah 10-15 %.
3.      Jarum yang dipakai terlalu kecil, eritrosit lisis
4.      Pembendungan yang terlalu lama menjadi hemokonsentrasi
5.      Tetesan pertama darah kapiler tidak dibuang ; mengandung cairan interstisiel
6.      Pipet kapiler yang mengandung heparin cepat rusak bila tidak disimpan di lemari es.
7.      Terlalu banyak anti koagulan ; eritrosit mengkerut
8.      Sebagian darah membeku ; eritrosit terjebak dalam bekuan darah
9.      Bahan tidak dicampur homogen
10.  Ujung pipet disumbat dengan cara dibakar ; eritrosit lisis
11.  Alat sentrifus menjadi panas sehingga terjadi hemolisis
12.  Terjadi penguapan plasma selama sentrifus
13.  Pemeriksaan ditunda lebih dari 6 jam
14.  Kecepatan dan lama sentrifus sudah tidak sesuai
15.  Lapisan buffy coat tidak turut dibaca
16.  Pembacaan yang salah
17.  Kesalahan menulis hasil
            Saat ini nilai hematokrit sudah dapat dihitung dengan alat penghitung otomatis sehingga beberapa faktor kesalahan dapat dihindari.
b. Hitung Trombosit
         Pada kasus DBD trombosit akan menurun jumlahnya di bawah 150.000 / µl. Penurunan ini biasanya ditemukan di antara hari ketiga dan hari ketujuh.  Hitung trombosit perlu diulang sampai kita yakin jumlahnya dalam batas normal atau menunjang diagnosis DBD.  Pemeriksaan dilakukan minimal dua kali yaitu pada waktu pasien masuk dan apabila normal diulang pada hari kelima sakit. Bila perlu diulang lagi pada hari keenam dan ketujuh sakit.
         Pemeriksaan hitung sel darah termasuk trombosit saat ini sudah menggunakan alat penghitung otomatis yang dikenal dengan Electronic Cell Counter.  Dengan alat ini penghitungan menjadi lebih mudah, cepat dan teliti dibandingkan dengan cara manual. Walaupun demikian hitung sel darah cara manual masih dipertahankan. Hal ini disebabkan karena dapat dilakukan di laboratorium yang tidak mempunyai aliran listrik, alat hitung sel otomatis harganya sangat mahal dan cara manual masih merupakan metode rujukan untuk pemeriksaan hitung trombosit.  
Kesalahan Yang mungkin terjadi
  1. Obat yang dipakai pasien misalnya ; suntikan adrenalin meningkatkan jumlah lekosit dan trombosit
  2. Alat yang dipakai ; volume pipet tidak tepat, kamar hitung yang kotor atau basah dan tidak menggunakan kaca penutup yang khusus.
  3. Teknik ; volume sampel tidak tepat misalnya tidak menghapus darah di luar pipet, tidak terjadi pencampuran yang homogen dan kamar hitung tidak diisi dengan benar.
  4. Jumlah sel yang dihitung terlalu sedikit.
  5. Kesalahan menulis hasil.
Penghitungan jumlah trombosit dapat juga dilakukan secara tidak langsung dengan melihat gambaran apusan darah tepi. Penilaian ini bersifat semikuantitatif namun beberapa pusat perawatan melakukan evaluasi dengan cara ini.
Penghitungan dengan cara manual faktor kesalahannya mencapai 15-30 %, dengan menggunakan alat otomatis kesalahan dapat diperkecil.
Tes Laboratorium DBD Yang Spesifik
A. Tes Laboratorium Imunologi
1.     Hemaglutination Inhibition Test (HI Test)
 Diagnosa ditegakkan bila (WHO 1974) :
1.      Titer HI Test pada fase akut akan meningkat 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi
2.      Titer HI Test pada fase akut 1/1.280 atau lebih dan fase rekonvalesensi tidak naik atau bila naik tidak perlu sampai 4 kali (presumtif diagnosa).
3.      Reaksi HI Test à positif primer bila titer fase akut < 1/20 dan akan meningkat sampai 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi, akan tetapi titer rekonvalesensi < 1/2.560
4.      Reaksi HI Test à positif sekunder bila titer fase akut < 1/20 dan meningkat dalam fase rekonvalesensi sampai 1/2.560 atau lebih atau dalam fase akut titer HI Test 1/20 atau lebih dan meningkat 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi.
HI Test sekarang ini makin jarang digunakan.
2.     Dengue Blot test
      Cara kerja
-          Spesimen yang berupa filter paper dilarutkan dengan kaolin 12,5% untuk memperoleh serum berupa sepernatan
-          Spesimen yang berbentuk darah vena atau darah kapiler dapat langsung diperiksa
-          Antigen dengue yang berbentuk kertas (tersedia dalam kit diletakkan pada sumur piring ELISA)
-          Pada sumur piring ELISA tambahkan 50 ul supernatan atau serum sampau kertas antigen terendam. Setelah 60 menit dilakukan pencucian dengan cara membilas dengan akuades. Setelah itu ditambahkan buffer pencuci yang dibuat dari bahan yang tersedia dalam kit, selanjutnya tambahkan larutan konjugate. Setelah 60 menit sumur-sumur piring ELISA dibilas dengan akuades, dan ditambahkan larutan substrate (tersedia dalam kit).
-           Pembacaan hasil dilakukan 30 menit kemudian.
  Interpretasi
-          Positif  : bila terbentuk cincin biru / ungu pada kertas antigen dengan intensitas lebih jelas atau sama dengan kontrol.
-          Negatif  : bila tidak terbentuk cincin berwarna atau intensitas warna kurang jelas dibandingkan dengan kontrol.
Dengue Blot Test juga sudah jarang dilakukuan di laboratorium klinik.
Konfirmasi selama ini dilakukan dengan HI Test. Sampel diambil dari darah kapiler yang ditampung dengan filter paper sebanyak 2 kali. Pertama waktu penderita masuk RS, kedua waktu penderita meninggalkan RS atau pulang. Sampel dikirim dan diperiksa di Balai Laboratorium Kesehatan.
3.  Tes Imunologi Antibodi Spesifik
           Tes imunologi ini didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terjadi   setelah infeksi.
           Pada infeksi primer antibodi yang pertama kali muncul adalah IgM yaitu sekitar hari ke-5 setelah infeksi, naik untuk 1-3 minggu dan bertahan sampai hari ke 60-90. Antibodi IgG akan muncul sekitar hari ke-14 dan bertahan lama sekali mungkin seumur hidup.
           Pada infeksi sekunder justru antibodi IgG yang akan muncul atau naik tinggi terlebih dahulu yaitu pada hari ke-2, baru diikuti dengan antibodi IgM pada hari ke-5 (yang tidak begitu tinggi).
           Dengan demikian untuk infeksi primer diagnosis dini dimungkinkan setelah hari ke-5 infeksi menggunakan tes imunologi IgM anti Dengue. Pada infeksi sekunder dagnosis dini dapat dilakukan setelah hari ke-2 infeksi menggunakan tes imunologi IgG Anti Dengue. Dengan cara ini hanya dibutuhkan satu sampel saja yaitu darah akut sehingga diagnosis akan ditegakkan lebih cepat. Test IgM anti Dengue dan IgG anti Dengue sekarang ini makin banyak dilakukan di laboratorium klinik oleh karena cepat, mudah dan praktis.
      B. Isolasi Virus
Isolasi virus belum biasanya dilakukan di laboratorium klinik, hanya dilakukan di laboratorium riset. Hal ini oleh karena kesulitan teknis dan biayanya masih terlalu mahal.

Sekian……….